Pencurian dengan kekerasan itu bukan kejahatan serius yang harus ditindak dengan HUKUMAN MATI.
Kami meminta MK menguji materi Pasal 365 ayat (4) KUHP.
PENCURIAN dengan kekerasan bukan merupakan kejahatan serius yang menimbulkan kerusakan ekonomi atau politik di masyarakat sehingga tidak harus diganjar dengan hukuman mati.Penegasan itu dikemukakan kuasa hukum pemohon dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Street Lawyer Legal Aid dalam persidangan uji materi Pasal 365 KUHP ayat (4) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.
“Pencurian dengan kekerasan itu bukan kejahatan serius yang harus ditindak dengan hukuman mati. Kami meminta MK menguji materi Pasal 365 ayat (4) KUHP,” kata Rangga, kuasa hukum pemohon Raja Fadli dan Raja Syahrial.
Menurutnya, ketentuan hukuman mati yang diatur Pasal 365 ayat (4) KUHP dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 281 dan 28A ayat (1) UUD 1945.
“Setiap orang berhak untuk hidup, itu yang harus diperjuangkan karena mereka tidak merugikan masyarakat secara luas,” tegas Rangga.
Keputusan Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru dan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun, kata Rangga, merupakan bukti adanya pelang garan hak hidup.
Hukuman mati diperuntukkan bagi kejahatan serius seperti yang telah disahkan International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
“Tindak pidana kejahatan serius itu seperti terorisme, narkotika, korupsi, dan pelanggaran berat HAM. Harus dilihat kembali latar belakang dan akibat dari perbuatannya,“ jelas Rangga.
Kemiskinan dan urusan perut, ucap Rangga, menjadi dasar pencurian yang dilakukan Raja Fadli dan Raja Syahrial.
Memang ada korban nyawa dalam kejahatan itu, tetapi PT seharusnya bisa melihat kejahatan seperti apa yang perlu ditindak dengan hukuman mati.
“Yang perlu diingat, sekali lagi, pencurian dengan kekerasan bukan merupakan kejahatan serius. Kalau untuk memberi efek jera, bisa ditindak dengan hukuman seumur
hidup,” paparnya.Mengenai eksekusi hukuman mati terhadap Raja Fadli dan Raja Syahrial, Rangga berpendapat bahwa ketika perkara sudah masuk MK, eksekusi terhadap mereka harus menunggu putusan MK.
