Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner

[Koran-Digital] Milto Seran: Republik Ternoda dan Sakit Hati Publik

Tuesday, March 13, 2012

Republik Ternoda dan Sakit Hati Publik
Milto Seran Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero

S KANDAL korupsi yang terjadi, mulai dari pe merintah pusat hingga
pemerintah daerah dan dari kursi DPR hingga tubuh parpol, membuat kita
tak habis berpikir dan bertanya, pemimpin-pemimpin kita terpilih untuk
melayani rakyat atau melayani siapa? Apakah nurani para pemimpin Re
publik ini masih tergerak untuk memperbaiki nasib rakyat yang didera
kemiskinan, kelaparan, dan ketertinggalan dalam banyak hal (terutama
pendidikan dan kesehatan)?
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sedikitnya membantu kita mafhum
akan skandal korupsi pada periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai skandal luar biasa. Menurut BPK, selama tujuh tahun
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, sedikitnya Rp103 triliun uang
negara disalahgunakan atau dikorupsi (http://Antikorupsi.org/). Tidak
perlu heran jika skandal korupsi mesti disebut sebagai megaskandal yang
menodai `wajah' Republik ini.
Kekecewaan dan harapan Penyalahgunaan uang negara (korupsi), sebagaimana
telah menjadi pengetahuan umum, menegaskan sejarah bangsa Indonesia
sebagai se jarah yang tak pernah lepas dari kekecewaan dan harapan.
Pada satu sisi, pemerintah b berkomitmen dengan harapa an tidak
mengulang periode gelap (penuh kekecewaan rakyat) pada masa Orde Baru.
Namun, pada sisi lain kebijakan-kebijakan yang diambil penyelenggara
negara selalu terganjal momok yang bernama `korupsi'; realitas yang
mengecewakan dan karena itu melukai nurani rakyat kecil.

Kekecewaan rakyat pun tak tertahankan lagi. Puncak `sakit hati publik'
itu terbaca jelas, misalnya, dalam peristiwa Deddy Sugarda menyerang
Sistoyo, jaksa yang tertangkap oleh KPK karena menerima sogok. Meski
tergolong tindak kriminal, peristiwa itu berbicara lantang tentang
runtuhnya bangunan keadilan di Indonesia.

Dalam riwayat politik bangsa yang plural ini, misi mewujudkan visi
bangsa (kepentingan umum) memang sering ternoda oleh dua cara. Pertama,
kepentingan umum ditelantarkan karena wakil rakyat lebih konsisten dan
fokus mengurus kepentingan golongan atau pribadi. Implikasinya, DPR
dengan sendirinya mengabaikan tanggung jawab mengurus kesejahteraan
rakyat dalam pengertian seluas-luasnya.
Dalam hal ini pelayanan wakil rakyat, atau tepatnya keterwakilan DPR,
menjadi pincang karena representasinya minus tanggung jawab. DPR lupa
bahwa dengan mengabaikan kepentingan umum, mereka tengah menodai res
publica pada saat bersamaan.

Kedua, DPR minus sikap kritis. Acap kali wakil rakyat mudah terseret
oleh kekuasaan lalim karena ketiadaan sikap kritis (terhadap diri dan
juga terhadap struktur yang `kotor'). Jika keadaan ini dibiarkan,
anggota DPR gampang terjerumus dalam sikap permisif-kompromistis yang
mendiamkan be gitu s a j a skandal-skandal yang melibatkan lembaga
legislatif, eksekutif, dan eksekutif, dan yudikatif. Sudah bisa
dipastikan, hal itu menegaskan lemahnya fungsi kontrol legislatif.
Akibat logisnya, politik kartel tak terhindarkan.

Dua hal tersebut mau tak mau mengantar kita untuk sedikitnya me nentang
pendapat Thomas Hobbes dan JJ Rousseau bahwa dalam kenyataan, b u k a n
warga negara yang perlu diperadabkan, me lainkan penyelenggara negaralah
yang mesti ditertibkan.

Dua langkah penertiban penyelenggara negara yang koruptif, misalnya, per
tama, upaya menjadikan parpol lebih sebagai ruang pendidikan politik,
bukan sekadar `kendaraan' poli tik yang mengantarkan politikus merebut
kursi pemerintahan. Parpol juga jangan dijadikan `mesin produksi uang'
sebanyak-banyaknya untuk memenangi ajang perta rungan politik semisal
pilpres dan pemilu kada.

Kedua, berpikir bersama koruptor untuk melawan korupsi. Wistle blower
seperti Nazaruddin mesti dilindungi untuk mengungkap misteri megaskandal
korupsi struktural sampai tuntas. Peran Nazaruddin dalam pengungkapan
para koruptor dalam tubuh parpol yang juga melibatkan wakil rakyat
menjadi entry point untuk mempelajari secara saksama modus operandi
megaskandal korupsi di republik ternoda ini. Ironi (hukum) Mbah Minah
Akan tetapi, sekadar me noleh ke masa silam, kelihatannya kepercayaan
publik terha dap kinerja p a ra p e negak hu kum se kali lagi mendapat
batu ujian yang cukup berat. Demikian halnya kearifan penegak hukum,
terutama nurani otoritas yang memegang aturan hukum, mesti bagaikan emas
dimurnikan dalam dapur api. Apakah kemurnian nurani penegak hukum tak
lekang oleh waktu?
Terbukti realitas berbicara lain beberapa waktu lalu.
Mbah Minah atau Aminah, 55, akhirnya harus menerima vonis 1 bulan 15
hari yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto,
Kabupaten Banyumas, lantaran memetik tiga buah kakao di kebun milik PT
Rumpun Sari Antam 4, senilai Rp2.000. Ironis memang. Di tengah proses
penanganan megaskandal korupsi yang terkesan berbelit dan `melindungi'
koruptor, seorang rakyat miskin mesti dihadapkan pada satu kenyataan
yang jauh dari rasa keadilan publik. Sebuah realitas yang tak mudah
dipahami.

Di tengah ziarah panjang bangsa mencari kebenaran dan keadilan, kita
tahu pada prinsipnya `matahari' kebenaran dan keadilan merupakan cahaya
universal yang terbit untuk semua, tapi kini coba diarahkan untuk
kepentingan segelintir orang.

Hal lain dan terpenting yang mesti ditanam dalam ingatan kolektif
(bangsa) ialah kesadaran bersama bahwa sebagian besar penyelenggara
negara saat ini bukanlah sosok-sosok yang setia. Mafia anggaran dan
korupsi dalam tubuh DPR, berikut skandal di seputar istana presiden dan
korupsi yang melibatkan petinggi partai politik, membuktikan
ketidaksetiaan itu.

Fakta ketaksetiaan dan lemahnya tanggung jawab dalam diri para pejabat
negara meyakinkan publik bahwa sosok pemimpin yang bijak bestari dan
berani memihak kebenaran jarang kita jumpai di lapangan. Sepertinya
Indonesia hari ini tidak hanya `memelihara' koruptor-koruptor yang
berani mencuri uang negara, tetapi juga `membesarkan' pemimpin-pemimpin
yang berani pula `mencuci tangan'.
Indonesia sedang mengalami krisis figur pemimpin yang berani memihak,
terutama memihak yang lemah dan miskin, semisal Mbah Minah.

Inkonsistensi DPR, temuan otoritas hukum mengenai mafia peradilan dan
mafia anggar an, korupsi seputar istana dan institusi-institusi
pemerintah daerah, berikut korupsi struktural dalam tubuh partai semisal
Demokrat, sakit hati Deddy Sugarda, serta ironi Mbah Minah merupakan
realitas kelam demokrasi Indonesia. Di dalam kekelaman itu, kita bukan
menggemakan tumbangnya pemerintahan yang sedang `terombang-ambing' saat
ini (reformasi jilid II?), melainkan berharap pemerintahan SBY mengambil
sikap berani, tegas, dan konsisten untuk tidak ragu-ragu `menghunus
pedang' melawan korupsi.***

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/03/14/ArticleHtmls/Republik-Ternoda-dan-Sakit-Hati-Publik-14032012020003.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Blogger news

 
© Copyright 2010-2011 Wet Dream All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.