Bambang Soesatyo Anggota Komisi III DPR RI
HUKUM di negara ini telah diselimuti kebo hongan oleh mereka yang
menggenggam kekuasaan. Posisi politik yang dominan menyebabkan mereka
semakin percaya diri sehingga merasa leluasa berbohong di ruang publik.
Mereka tidak peduli sedikit pun manakala rasa keadilan rakyat terluka.
Karena sudah terdesak, mereka termotivasi dan merasa harus all out untuk
berbohong di panggung realitas kehidupan sehari-hari.
Dengan membunuh nurani sendiri, dan secara ekstrem mengubah hakikat
karakter pribadi masing-masing, disajikanlah kepura-puraan dan rangkaian
kebohongan agar bisa disaksikan dan disimak hampir 200 juta jiwa warga
di negara ini.
Tak jarang, dan inilah edannya, kebohongan-kebohongan itu dilakukan atas
nama Tuhan. Mereka pun berharap semua warga negara percaya kepada semua
kebohongan itu. Bagi mereka, semua kebohongan itu tampak benar dan
sempurna karena sistem hukum atau legal formal yang dipraktikkan dengan
kacamata kuda mengakomodasi semua kebohongan dan kepura-puraan itu.
Pada posisi hari-hari ini, mereka sesungguhnya tidak hanya terdesak.
Kalau mengacu pada sistem nilai dalam budaya Timur, mereka sudah habis;
apa pun argumentasi mereka, secanggih apa pun metode pencitraan mereka,
dan sehebat apa pun sandiwara kesantunan mereka. Sanksi sosial sudah
menista mereka. Secara formal, mereka memang bagian dari faktor kekuasaan.
Di ruang tertutup, mereka merancang kebohongan. Semua orang ingat bahwa
mereka pernah berkali-kali mengatakan `tidak' pada korupsi.
Akan tetapi, mereka sudah nyaris mengobrak-abrik brankas keuangan
negara, mencuri dari proyek ini dan proyek orang terdekat, orang-orang
kepercayaan, serta terus menyudutkan. Ketika keyakinan publik semakin
kuat bahwa mereka sesungguhnya berstatus pencuri uang negara,
kebohongan-kebohongan baru dirancang lagi untuk membantah semua tuduhan itu.
Nyatanya, bantahan itu sama sekali tidak dipercaya khalayak. Kepada
koleganya, seorang ketua RT (rukun tetangga) mengaku hanya bisa
tersenyum pahit ketika dia mendengar sekumpulan remaja, sekumpulan sopir
bajaj, dan sejumlah ibu rumah tangga membahas kebohongan-kebohongan itu.
Mereka heran orang-orang itu begitu berani melakukan kebohongan di
hadapan jutaan orang. Itu juga sulit dipahami karena kebohongan itu
dilakukan di bawah sumpah.
Kebingungan itu bisa dimaklumi karena masyarakat kita agamais. Pun
karena keawaman, mereka juga bertanya apakah (sistem) hukum bisa
membuktikan bahwa orang-orang itu melakukan kebohongan?
Ungkapan kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan tadi membuktikan bahwa
masyarakat terus menyimak kebohongan-kebohongan yang mengemuka dalam
sejumlah kasus tindak pidana korupsi yang proses hukumnya sedang
berjalan dewasa ini.
Karena semua itu merupakan contoh perilaku buruk yang dipertontonkan
orangorang penting di negara ini, tidak mudah bagi para orang tua
menjelaskan kepada putraputri, khususnya kalangan remaja. Sulit untuk
menjelaskan karena kebohongan-kebohongan itu dilakukan dalam sebuah
proses hukum.
Para orang tua tahu bahwa hanya hukum yang bisa menetapkan kebohongan
sebagai keterangan atau kesaksian palsu, dan hanya pengadil yang bisa
menerima kebohongan itu sebagai sebuah kebenaran. kepentingan itu,
dirancanglah pernyataan-pernyataan tidak jujur atau kebohongan publik.
Dari ketidakjujuran itu, masyarakat diharapkan percaya alasan-alasan di
balik stagnasi proses hukum sejumlah kasus, terutama kasus-kasus besar
yang menjadi perhatian banyak orang. Ada kasus besar yang proses
hukumnya stagnan. Misaln nya, kasus Bank Century. Sel lama ini,
masyarakat dicekoki pernyataan yang belum cukup bukti. Pernyataan ini
tidak bisa dipercaya banyak orang.
Mafia pajak ialah kejahatan terorganisasi di negara ini. Namun, ada
upaya berkelanjutan untuk membohongi rakyat dengan menyederhanakan
masalah penggelapan dan penghindaran pajak sebagai kasus per kasus.
Pada kasus Gayus Tambunan berikut pengakuannya, jelas telah dimunculkan
sejumlah indikator yang menunjukkan penggelapan dan penghindaran pajak
sebagai kejahatan terorganisasi. Namun, pemerintah sejauh ini tidak
pernah menunjukkan niat memerangi mafia pajak. Padahal, membiarkan mafia
pajak terus merajalela sudah melahirkan kesimpulan bahwa pemerintahan
ini tidak serius.
Pencurian pajak dalam jumlah miliaran rupiah tidak mungkin berani
dilakukan seorang petugas eselon rendah.
Tidak mungkin pula atasannya tidak tahu penggelapan nilai pajak yang
dilakukan bawahannya. Ada oknum pemerintah yang diuntungkan dari
pembiaran terhadap eksistensi mafia pajak.
Masyarakat juga melihat sejumlah keanehan dalam proses hukum kasus
pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK).
Itu pun dilatarbelakangi kebohongan. Kesediaan untuk menerima kebohongan
itu menyebabkan pelapor kasus justru dijadikan tersangka.
Akhirnya, itu sampai pada proses hukum kasus suap p r oy e k W i s m a A
t l e t S E A Games di Palembang. Dugaan atas rangkaian kebohongan dalam
proses hukum kasus ini mampu menyedot perhatian khalayak dari semua
pelosok negeri. Semua harap-harap cemas, menantikan bagaimana sistem
hukum akan merespons dugaan kebohongan itu.
Apakah kebohongan publik untuk menghindari jerat hukum sudah menjadi
sebuah kecenderungan di negara ini?
Kalau kasusnya dirinci, akan muncul jumlah kebohongan publik yang tidak
sedikit. Namun karena kebohongankebohongan itu lebih banyak dilakukan
sejumlah individu dalam lingkaran kekuasaan untuk menutup jejak
keterlibatan mereka dalam kasus besar yang menjadi perhatian publik,
melakukan kebohongan publik memang sudah menjadi sebuah kecenderungan di
negara ini.
Sistem hukum yang akomodatif terhadap kebohongan memperkuat
kecenderungan itu. Alhasil, praktik hukum tampak diselimuti kebohongan.
Wajar jika praktik hukum yang demikian melukai rasa keadilan rakyat.
Ada seloroh yang mengatakan sekarang adalah era kebohongan publik.
Contoh kasus lainnya ialah soal distribusi pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dikatakan tinggi, tetapi pengangguran dan jumlah
warga miskin terus bertambah.
Khalayak pun sering bertanya, benarkah pertumbuhan ekonomi di negara ini
tinggi adanya? Khalayak bertanya karena mayoritas rakyat tidak menikmati
pertumbuhan itu.
Bayangkan, hanya karena penaikan harga BBM (bahan bakar minyak), jumlah
warga miskin bertambah.
Andaikata penaikan harga BBM bersubsidi direalisasikan nantinya, jutaan
orang langsung berubah status menjadi warga miskin.
Jadi, apa makna pertumbuhan ekonomi tinggi itu? Sebagai sebuah
kecenderungan, kebohongan publik jelas sangat berbahaya. Masa depan dan
moral bangsa menjadi taruhannya. Maka, cepat atau lambat, kecenderungan
ini harus dihentikan. *** Bayangkan, hanya karena penaikan harga BBM
(bahan bakar minyak), jumlah warga miskin bertambah.
Andaikata penaikan harga BBM bersubsidi direalisasikan nantinya, jutaan
orang langsung berubah status menjadi warga miskin." Kecenderungan
Masyarakat menyaksikan dan memahami bahwa penyelesaian sejumlah kasus
tindak pidana korupsi diwarnai tarik ulur kepentingan.
Untuk menutupi tarik ulur
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
